Masa kecil adalah bagian yang
kehidupan yang terindah karena masa itu kita belum terbebankan dengan
pemikiran-pemikiran yang berat. Namun ada ganjalan yang saya rasakan ketika saya menjalani kehidupan masa kecil. Saya dibesarkan dalam pasangan yang berbeda
agama. Saya bimbang ketika di usia dini harus memutuskan pilihan mengikuti keyakinan yang mana.Tentu saja banyak hal yang tidak saya mengerti.
Akhirnya saya memilih mengikuti keyakinan Ibu saya. Saya memilih Islam sebagai agama saya. Mungkin juga karena Ibu saya lebih mengarahkan saya ke sana.
Akhirnya saya memilih mengikuti keyakinan Ibu saya. Saya memilih Islam sebagai agama saya. Mungkin juga karena Ibu saya lebih mengarahkan saya ke sana.
Hidup di antara dua orang tua
yang berbeda keyakinan membuat kehidupan saya tidak terlalu fanatic dalam masalah agama.
Bahkan banyak pelajaran-pelajaran agama yang belum saya dapatkan di usia dini sebagaimana teman-teman saya yang lain. Seumpamanya belajar mengaji, melafalkan do’a-do'a, cara berwudhu dan sholat.
Apalagi saya tinggal di suatu tempat yang agak jauh dari lingkungan teman-teman
sebaya sehingga hal tersebut membatasi pergaulan saya dengan teman-teman lain
yang seiman dengan saya. Kalau saja saya bisa bergaul layaknya anak yang lain tentu
kami bisa sama-sama belajar mengaji, bareng-bareng sholat berjamaah di mesjid.
Tentu banyak pelajaran-pelajaran agama yang saya dapat di luar sana karena saya tidak mendapatkannya di rumah saya sendiri.
Begitulah saya menjalani masa
kecil dengan bekal agama yang sangat minim. Namun saya tidak ingin menyalahkan
siapa-siapa karena memang keadaan saya harus begini. Setiap tahun saya melaluinya
tanpa pernah merayakan Idul Fitri sebagai hari besar umat Islam.. Karena di
rumah kami tidak merayakannya melainkan ikut merayakan Imlek, hari besar agama
Bapak saya. Kadang-kadang saya merindukan keadaan seperti teman-teman saya yang dapat
menjalankan ibadah bersama dan merayakan lebaran dengan meriah bersama
keluarga.
Setiap perayaan Imlek saya tidak
mengajak teman-teman sekolah datang karena saya merasa risih dan beranggapan
mereka akan merasa aneh dengan keadaan saya. Islam kok merayakan Imlek? Pasti itu
yang ada dalam pikiran mereka.
Suatu hari di sekolah pada
pelajaran Agama Islam guru kami meminta kami membaca ayat Al Qur’an tanpa teks latinnya tertera di situ. Tentu
murid-murid sudah harus pandai mengaji. Sementara saya belum bisa. Apa yang
harus saya lakukan? Untung saya dapat giliran kesekian sehingga saya sudah bisa
menghafalnya ketika saya di minta membacanya. Duh, saya memang benar-benar
ketinggalan ya dengan yang lain? Padahal di beberapa pelajaran lain saya boleh
bangga bisa lebih baik .
Keadaan itu membuat saya sadar
harus mulai belajar mengaji. Tapi untuk datang ke guru mengaji saya malu karena
teman-teman yang seusia saya mengajinya sudah sampai di Al- Qur’an. Sedangkan saya baru mau belajar dari pengenalan huruf. Berarti nanti saya akan belajar bareng
dengan anak yang kecil-kecil.
Saya merasa malu tapi bagaimana
supaya saya tetap bisa mengaji. Suatu
hari saya melihat di tayangan televisi ada pelajaran mengenal huruf Arab. Kalau
tak salah judulnya Muqqadam. Acara tersebut di tayangkan di RTM 2, salah satu
stasiun televisi Malaysia. Yang saya ingat acara tersebut ditayangkan dalam
gambar hitam putih. Tentu saya sangat senang. Jadi saya bisa belajar. Setiap jam
5 sore saya sudah nongkrong di depan TV. Berkat kerutinan dan keseriusan saya belajar dari acara tersebut akhirnya saya bisa
mengenal dan membaca ayat-ayat Al Qur’an. Alhamdulillah saya sangat bersyukur
Allah memberi kesempatan saya belajar mengaji dengan cara yang lain.
Demikianlah untuk hal-hal yang
lain saya banyak belajar dari membaca buku karena saya memang suka membaca. Namun saya masih merasa tetap ada yang kurang. Andaikan saja dalam keluarga saya bisa memiliki keyakinan yang sama tentulah saya sangat berbahagia karena kami bisa menjalankan ibadah bersama-sama. Saya masih merasa tak lazim dengan
keadaan keluarga saya. . Mengapa harus ada perbedaan keyakinan dalam satu keluarga?
Sesuatu yang masih mengganjal hati tapi saya harus berusaha menerima keadaan ini.
Memang semua tidak mudah mengubah
pola pikir saya sendiri yang terlanjur menganggap kehidupan yang kami jalani agak
aneh. Tidak mudah mengajak kompromi hati ini untuk berlapang dada menerima keadaan yang agak berbeda dengan kebanyakan
orang. Hal-hal tersebut membuat saya agak
minder dan tertutup. Saya cenderung membatasi diri agar orang lain tidak begitu dekat dengan
kehidupan saya. Apakah sikap ini berlebihan? Tapi itulah yang terjadi terhadap
pemikiran sayaketika itu. Saat seharusnya saya merasa kebahagian dalam keluarga
menjalani masa kecil serasa ada yang kurang oleh ketidak nyamanan hati saya karena kurang bisa menerima perbedaan keyakinan di antara orang tua saya.
Saat ini semua sudah lama berlalu. Ketika
Bapak sudah tiada tentu kami tidak merayakan Imlek lagi sebagaimana tradisi
bertahun-tahun yang keluarga kami jalani. Saya dan Ibu saya merayakan Idul Fitri sebagai hari kemenangan setelah sebulan menjalankan
ibadah puasa. Saya bahagia bisa merayakan Idul Fitri setelah bertahun-tahun saya merindukannya. Tetapi saya juga sedih semua itu terlaksana setelah Bapak tak ada
lagi. Saat Bapak sudah tidak ada lagi saya tidak tahu harus bagaimana sebaiknya mendo’akannya? Semua terhalang
karena perbedaan keyakinan ini. Saya hanya berserah kepada Allah. Hanya Dia Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik. Semua
yang pernah saya alami tentu merupakan
pengalaman yang ada hikmahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar